Beranjak remaja, dengan alasan menaati Tuhan dan takut dosa, kukenakan jilbab setiap ke luar rumah. Kulahap bacaan-bacaan wacana perintah berjilbab, keutamaan wanita berjilbab dan menjaga izzah (kehormatan), serta bahaya bagi wanita yang tidak mengenakan jilbab.
Seiring berjalannya waktu, berkat bacaanku, jilbab yang kupakai semakin lebar dan saya sempat mengenakan gamis. Kuhapus pula foto-foto yang menampilkan wajahku di media sosial, atas imbas kampanye anti-swafoto yang diluncurkan seorang ustaz yang aktif berdakwah di Twitter dan Facebook.
Dulu, saya benar-benar terpengaruhi oleh propaganda mengerikan seputar jilbab. Aku masih ingat betul meme-meme viral di media umum yang isinya menakut-nakuti wanita yang tidak berjilbab. Salah satu gambaran yang menempel di kepalaku ialah gambar kartun mayat wanita dibalut kain kafan. Di bawahnya tertulis “Jangan hingga kain kafan menjadi jilbab pertama dan terakhirmu.”
Tidak cukup menyasar wanita yang tidak berjilbab, dakwah-dakwah media sosial tersebut juga bahkan mengintimidasi wanita yang berjilbab. Keluarlah wacana-wacana ibarat jilboobs (jilbab pendek yang tidak terjulur hingga menutupi bentuk payudara), berjilbab tapi tabarruj (bersolek berlebihan supaya dipuji orang lain), berjilbab ibarat orang kafir (berjilbab dengan gaya menggunakan ciput ninja, ibarat biarawati), hingga berjilbab tapi telanjang (berjilbab dengan celana atau kaus ketat).
Ada dua meme dakwah yang sangat kuingat. Pertama, soal “jilbab punuk unta” alias berjilbab dengan sanggul menonjol di belakang kepala. Di dalam gambaran tersebut disebutkan bahwa wanita dengan gaya jilbab semacam itu tidak akan pernah mencium wangi surga.
Kedua, meme yang menggambarkan hierarki dalam berjilbab yang diilustrasikan dengan beberapa anak tangga, masing-masing dengan gaya berpakaian berbeda-beda. Anak tangga paling bawah dipijak oleh wanita tak berjilbab. Anak tangga kedua dari bawah dipijak wanita ber-jilboobs. Selanjutnya ada wanita dengan jilbab lebih lebar, dan seterusnya. Seperti apa pakaian wanita di tangga paling atas? Tentu saja wanita pemakai cadar yang hanya kelihatan garis matanya. Di bawah gambaran ini tertulis “Sudah hingga tahap mana proses hijrahmu?”
Setiap gambaran atau konten-konten dakwah media umum mengenai jilbab selalu merujuk pada dua ayat di dalam Alquran, yakni Al-Ahzab ayat 59 dan An Nur ayat 31.
Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, belum dewasa perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya. Yang demikian itu menciptakan mereka lebih gampang dikenal, supaya mereka tidak diganggu. Allah maha pengampun lagi maha penyayang (Al Ahzab [33]: 59).
Sementara itu, di dalam surat An Nur diperjelas bahwa umat Muslim wajib menutup tubuhnya kecuali yang biasa tampak serta menjaga kemaluan (berahi) dari orang-orang yang bukan mahramnya. Mahram ialah sebutan bagi orang-orang yang diperbolehkan melihat cuilan badan wanita yang ditutup. Beberapa mahram di antaranya suami, ayah, ayah mertua, dan saudara laki-laki.
Dua surat tersebut selalu menjadi senjata utama di dalam bacaan-bacaan terkenal wacana jilbab. Aku dulu sempat percaya bahwa menggunakan jilbab lebar atau yang dikenal dengan sebutan hijab syar’i adalah perintah absolut. Kalau dilanggar ya dosa besar. Sekalipun kita sudah berjilbab, tetapi jika jilbabnya belum hingga menyapu lantai, ujung-ujungnya tetap bakal dilaknat. Masuk neraka. Titik. Tidak sanggup ditawar.
Seiring berjalannya waktu, jilbab lebar yang dulu digadang-gadang sesuai dengan syariat pun mulai populer. Jika semasa Sekolah Menengan Atas jumlah wanita bergamis dan berjilbab lebar di sekolahku sanggup dihitung jari, kini wanita berjilbab lebar telah menjamur di sana sini. Hijab (model) syar’i pun semakin banyak diproduksi dengan model yang semakin bervariasi.
Lama kelamaan, saya merasa sebutan syar’i ini semakin mengalami komodifikasi. Slogan-slogan “Ayo berhjrah!” kerap diumbar di gerai-gerai penjual hijab (model) syar’i. Belum lagi slogan-slogan ibarat “jilbab pakaian takwa”, “Muslimah sejati” dan “bidadari syurga” kerap digembar-gemborkan di program televisi bertema Islami. Slogan tersebut tentu saja ditujukan untuk jilbab syar’i. Seolah-olah wanita dengan jilbab selain itu bukanlah Muslimah sejati. Seolah-olah yang tidak berjilbab belum pantas menjadi calon penghuni surga. Jika kita tarik lebih jauh lagi, seperti jilbab model syar’i saja yang bersifat syar’i (sesuai syariat islam).
Menyikapi hal ini, saya harus berterima kasih pada fatwa para cendekiawan muslim kontemporer, di antaranya Sayyed Hossein Nasr dan Edi Akhiles. Kini, saya yang sudah dewasa, paham bahwa mengamalkan perintah Tuhan tidak hanya berlandaskan normativitas atau dalil naqliyahnya (ayat suci). Perlu pula kutelaah sisi historis atau dalil aqliyahnya -- akal, latar belakang suatu tempat, nilai yang dianut di suatu tempat. Sisi historis inilah yang kemudian mengantarkanku pada rasa ingin tau terhadap asal muasal turunnya ayat suci (asbabun nuzul), termasuk ayat perintah berjilbab. Kapan ayat itu diturunkan? Dalam keadaan apa Tuhan menurunkan ayat tersebut? Bagaimana korelasi pengaplikasian ayat tersebut dalam kehidupan masa kini di daerah kita tinggal?
Pada akhirnya, kewajiban memahami dalil aqliyah membuatku sadar bahwa kitab suci bukanlah kitab desain baju (meminjam istilah Edi Akhiles). Tuhan memang menurunkan perintah menjaga badan dan menutupnya (aurat) untuk kebaikan. Namun, kupikir Tuhan tidak akan semudah itu mengutuk perempuan-perempuan ber-jilboobs yang mungkin belum paham apa itu arti asbabun nuzul. Tuhan tidak pula se-baperan itu melaknat guru wanita jilbaber berseragam Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau praja berjilbab di Institut Pemerintahan dalam Negeri (IPDN) hanya alasannya ialah tidak sanggup mengenakan jilbab (model) syar’i sehari-hari.
Aku masih menggunakan jilbab yang menutup dada. Namun sekarang, saya hingga pada kesimpulan bahwa fungsi jilbab sama ibarat pakaian epilog badan yang lain. Punya kuasa apa saya menyebut jilbab sebagai pakaian takwa? Toh saya percaya, Tuhan menurunkan perintah berjilbab atas dasar cinta, bukan bahaya berembel-embel tiket masuk neraka.
Asmi Nur Aisyah adalah lulusan jurnalistik yang punya ketertarikan pada isu-isu agama dan gender. Sejak lulus Sekolah Menengah Pertama ia yakin bahwa kasih sayang Tuhan pada umat insan tidak selebar daun kelor.
Aku wanita Muslim berjilbab. Awal mula kukenakan pakaian tertutup ini ialah ketika saya bersekolah di SD Islam Terpadu. Berjilbab, bagi diriku ketika itu, merupakan peraturan sekolah yang wajib ditaati supaya tidak dieksekusi guru. Di luar sekolah, saya tidak mengenakan jilbab.
Beranjak remaja, dengan alasan menaati Tuhan dan takut dosa, kukenakan jilbab setiap ke luar rumah. Kulahap bacaan-bacaan wacana perintah berjilbab, keutamaan wanita berjilbab dan menjaga izzah (kehormatan), serta bahaya bagi wanita yang tidak mengenakan jilbab.
Seiring berjalannya waktu, berkat bacaanku, jilbab yang kupakai semakin lebar dan saya sempat mengenakan gamis. Kuhapus pula foto-foto yang menampilkan wajahku di media sosial, atas imbas kampanye anti-swafoto yang diluncurkan seorang ustaz yang aktif berdakwah di Twitter dan Facebook.
Dulu, saya benar-benar terpengaruhi oleh propaganda mengerikan seputar jilbab. Aku masih ingat betul meme-meme viral di media umum yang isinya menakut-nakuti wanita yang tidak berjilbab. Salah satu gambaran yang menempel di kepalaku ialah gambar kartun mayat wanita dibalut kain kafan. Di bawahnya tertulis “Jangan hingga kain kafan menjadi jilbab pertama dan terakhirmu.”
Tidak cukup menyasar wanita yang tidak berjilbab, dakwah-dakwah media sosial tersebut juga bahkan mengintimidasi wanita yang berjilbab. Keluarlah wacana-wacana ibarat jilboobs (jilbab pendek yang tidak terjulur hingga menutupi bentuk payudara), berjilbab tapi tabarruj (bersolek berlebihan supaya dipuji orang lain), berjilbab ibarat orang kafir (berjilbab dengan gaya menggunakan ciput ninja, ibarat biarawati), hingga berjilbab tapi telanjang (berjilbab dengan celana atau kaus ketat).
Ada dua meme dakwah yang sangat kuingat. Pertama, soal “jilbab punuk unta” alias berjilbab dengan sanggul menonjol di belakang kepala. Di dalam gambaran tersebut disebutkan bahwa wanita dengan gaya jilbab semacam itu tidak akan pernah mencium wangi surga.
Kedua, meme yang menggambarkan hierarki dalam berjilbab yang diilustrasikan dengan beberapa anak tangga, masing-masing dengan gaya berpakaian berbeda-beda. Anak tangga paling bawah dipijak oleh wanita tak berjilbab. Anak tangga kedua dari bawah dipijak wanita ber-jilboobs. Selanjutnya ada wanita dengan jilbab lebih lebar, dan seterusnya. Seperti apa pakaian wanita di tangga paling atas? Tentu saja wanita pemakai cadar yang hanya kelihatan garis matanya. Di bawah gambaran ini tertulis “Sudah hingga tahap mana proses hijrahmu?”
Setiap gambaran atau konten-konten dakwah media umum mengenai jilbab selalu merujuk pada dua ayat di dalam Alquran, yakni Al-Ahzab ayat 59 dan An Nur ayat 31.
Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, belum dewasa perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya. Yang demikian itu menciptakan mereka lebih gampang dikenal, supaya mereka tidak diganggu. Allah maha pengampun lagi maha penyayang (Al Ahzab [33]: 59).
Sementara itu, di dalam surat An Nur diperjelas bahwa umat Muslim wajib menutup tubuhnya kecuali yang biasa tampak serta menjaga kemaluan (berahi) dari orang-orang yang bukan mahramnya. Mahram ialah sebutan bagi orang-orang yang diperbolehkan melihat cuilan badan wanita yang ditutup. Beberapa mahram di antaranya suami, ayah, ayah mertua, dan saudara laki-laki.
Dua surat tersebut selalu menjadi senjata utama di dalam bacaan-bacaan terkenal wacana jilbab. Aku dulu sempat percaya bahwa menggunakan jilbab lebar atau yang dikenal dengan sebutan hijab syar’i adalah perintah absolut. Kalau dilanggar ya dosa besar. Sekalipun kita sudah berjilbab, tetapi jika jilbabnya belum hingga menyapu lantai, ujung-ujungnya tetap bakal dilaknat. Masuk neraka. Titik. Tidak sanggup ditawar.
Seiring berjalannya waktu, jilbab lebar yang dulu digadang-gadang sesuai dengan syariat pun mulai populer. Jika semasa Sekolah Menengan Atas jumlah wanita bergamis dan berjilbab lebar di sekolahku sanggup dihitung jari, kini wanita berjilbab lebar telah menjamur di sana sini. Hijab (model) syar’i pun semakin banyak diproduksi dengan model yang semakin bervariasi.
Lama kelamaan, saya merasa sebutan syar’i ini semakin mengalami komodifikasi. Slogan-slogan “Ayo berhjrah!” kerap diumbar di gerai-gerai penjual hijab (model) syar’i. Belum lagi slogan-slogan ibarat “jilbab pakaian takwa”, “Muslimah sejati” dan “bidadari syurga” kerap digembar-gemborkan di program televisi bertema Islami. Slogan tersebut tentu saja ditujukan untuk jilbab syar’i. Seolah-olah wanita dengan jilbab selain itu bukanlah Muslimah sejati. Seolah-olah yang tidak berjilbab belum pantas menjadi calon penghuni surga. Jika kita tarik lebih jauh lagi, seperti jilbab model syar’i saja yang bersifat syar’i (sesuai syariat islam).
Menyikapi hal ini, saya harus berterima kasih pada fatwa para cendekiawan muslim kontemporer, di antaranya Sayyed Hossein Nasr dan Edi Akhiles. Kini, saya yang sudah dewasa, paham bahwa mengamalkan perintah Tuhan tidak hanya berlandaskan normativitas atau dalil naqliyahnya (ayat suci). Perlu pula kutelaah sisi historis atau dalil aqliyahnya -- akal, latar belakang suatu tempat, nilai yang dianut di suatu tempat. Sisi historis inilah yang kemudian mengantarkanku pada rasa ingin tau terhadap asal muasal turunnya ayat suci (asbabun nuzul), termasuk ayat perintah berjilbab. Kapan ayat itu diturunkan? Dalam keadaan apa Tuhan menurunkan ayat tersebut? Bagaimana korelasi pengaplikasian ayat tersebut dalam kehidupan masa kini di daerah kita tinggal?
Pada akhirnya, kewajiban memahami dalil aqliyah membuatku sadar bahwa kitab suci bukanlah kitab desain baju (meminjam istilah Edi Akhiles). Tuhan memang menurunkan perintah menjaga badan dan menutupnya (aurat) untuk kebaikan. Namun, kupikir Tuhan tidak akan semudah itu mengutuk perempuan-perempuan ber-jilboobs yang mungkin belum paham apa itu arti asbabun nuzul. Tuhan tidak pula se-baperan itu melaknat guru wanita jilbaber berseragam Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau praja berjilbab di Institut Pemerintahan dalam Negeri (IPDN) hanya alasannya ialah tidak sanggup mengenakan jilbab (model) syar’i sehari-hari.
Aku masih menggunakan jilbab yang menutup dada. Namun sekarang, saya hingga pada kesimpulan bahwa fungsi jilbab sama ibarat pakaian epilog badan yang lain. Punya kuasa apa saya menyebut jilbab sebagai pakaian takwa? Toh saya percaya, Tuhan menurunkan perintah berjilbab atas dasar cinta, bukan bahaya berembel-embel tiket masuk neraka.
Asmi Nur Aisyah adalah lulusan jurnalistik yang punya ketertarikan pada isu-isu agama dan gender. Sejak lulus Sekolah Menengah Pertama ia yakin bahwa kasih sayang Tuhan pada umat insan tidak selebar daun kelor.
Beranjak remaja, dengan alasan menaati Tuhan dan takut dosa, kukenakan jilbab setiap ke luar rumah. Kulahap bacaan-bacaan wacana perintah berjilbab, keutamaan wanita berjilbab dan menjaga izzah (kehormatan), serta bahaya bagi wanita yang tidak mengenakan jilbab.
Seiring berjalannya waktu, berkat bacaanku, jilbab yang kupakai semakin lebar dan saya sempat mengenakan gamis. Kuhapus pula foto-foto yang menampilkan wajahku di media sosial, atas imbas kampanye anti-swafoto yang diluncurkan seorang ustaz yang aktif berdakwah di Twitter dan Facebook.
Dulu, saya benar-benar terpengaruhi oleh propaganda mengerikan seputar jilbab. Aku masih ingat betul meme-meme viral di media umum yang isinya menakut-nakuti wanita yang tidak berjilbab. Salah satu gambaran yang menempel di kepalaku ialah gambar kartun mayat wanita dibalut kain kafan. Di bawahnya tertulis “Jangan hingga kain kafan menjadi jilbab pertama dan terakhirmu.”
Tidak cukup menyasar wanita yang tidak berjilbab, dakwah-dakwah media sosial tersebut juga bahkan mengintimidasi wanita yang berjilbab. Keluarlah wacana-wacana ibarat jilboobs (jilbab pendek yang tidak terjulur hingga menutupi bentuk payudara), berjilbab tapi tabarruj (bersolek berlebihan supaya dipuji orang lain), berjilbab ibarat orang kafir (berjilbab dengan gaya menggunakan ciput ninja, ibarat biarawati), hingga berjilbab tapi telanjang (berjilbab dengan celana atau kaus ketat).
Ada dua meme dakwah yang sangat kuingat. Pertama, soal “jilbab punuk unta” alias berjilbab dengan sanggul menonjol di belakang kepala. Di dalam gambaran tersebut disebutkan bahwa wanita dengan gaya jilbab semacam itu tidak akan pernah mencium wangi surga.
Kedua, meme yang menggambarkan hierarki dalam berjilbab yang diilustrasikan dengan beberapa anak tangga, masing-masing dengan gaya berpakaian berbeda-beda. Anak tangga paling bawah dipijak oleh wanita tak berjilbab. Anak tangga kedua dari bawah dipijak wanita ber-jilboobs. Selanjutnya ada wanita dengan jilbab lebih lebar, dan seterusnya. Seperti apa pakaian wanita di tangga paling atas? Tentu saja wanita pemakai cadar yang hanya kelihatan garis matanya. Di bawah gambaran ini tertulis “Sudah hingga tahap mana proses hijrahmu?”
Setiap gambaran atau konten-konten dakwah media umum mengenai jilbab selalu merujuk pada dua ayat di dalam Alquran, yakni Al-Ahzab ayat 59 dan An Nur ayat 31.
Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, belum dewasa perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya. Yang demikian itu menciptakan mereka lebih gampang dikenal, supaya mereka tidak diganggu. Allah maha pengampun lagi maha penyayang (Al Ahzab [33]: 59).
Sementara itu, di dalam surat An Nur diperjelas bahwa umat Muslim wajib menutup tubuhnya kecuali yang biasa tampak serta menjaga kemaluan (berahi) dari orang-orang yang bukan mahramnya. Mahram ialah sebutan bagi orang-orang yang diperbolehkan melihat cuilan badan wanita yang ditutup. Beberapa mahram di antaranya suami, ayah, ayah mertua, dan saudara laki-laki.
Dua surat tersebut selalu menjadi senjata utama di dalam bacaan-bacaan terkenal wacana jilbab. Aku dulu sempat percaya bahwa menggunakan jilbab lebar atau yang dikenal dengan sebutan hijab syar’i adalah perintah absolut. Kalau dilanggar ya dosa besar. Sekalipun kita sudah berjilbab, tetapi jika jilbabnya belum hingga menyapu lantai, ujung-ujungnya tetap bakal dilaknat. Masuk neraka. Titik. Tidak sanggup ditawar.
Seiring berjalannya waktu, jilbab lebar yang dulu digadang-gadang sesuai dengan syariat pun mulai populer. Jika semasa Sekolah Menengan Atas jumlah wanita bergamis dan berjilbab lebar di sekolahku sanggup dihitung jari, kini wanita berjilbab lebar telah menjamur di sana sini. Hijab (model) syar’i pun semakin banyak diproduksi dengan model yang semakin bervariasi.
Lama kelamaan, saya merasa sebutan syar’i ini semakin mengalami komodifikasi. Slogan-slogan “Ayo berhjrah!” kerap diumbar di gerai-gerai penjual hijab (model) syar’i. Belum lagi slogan-slogan ibarat “jilbab pakaian takwa”, “Muslimah sejati” dan “bidadari syurga” kerap digembar-gemborkan di program televisi bertema Islami. Slogan tersebut tentu saja ditujukan untuk jilbab syar’i. Seolah-olah wanita dengan jilbab selain itu bukanlah Muslimah sejati. Seolah-olah yang tidak berjilbab belum pantas menjadi calon penghuni surga. Jika kita tarik lebih jauh lagi, seperti jilbab model syar’i saja yang bersifat syar’i (sesuai syariat islam).
Menyikapi hal ini, saya harus berterima kasih pada fatwa para cendekiawan muslim kontemporer, di antaranya Sayyed Hossein Nasr dan Edi Akhiles. Kini, saya yang sudah dewasa, paham bahwa mengamalkan perintah Tuhan tidak hanya berlandaskan normativitas atau dalil naqliyahnya (ayat suci). Perlu pula kutelaah sisi historis atau dalil aqliyahnya -- akal, latar belakang suatu tempat, nilai yang dianut di suatu tempat. Sisi historis inilah yang kemudian mengantarkanku pada rasa ingin tau terhadap asal muasal turunnya ayat suci (asbabun nuzul), termasuk ayat perintah berjilbab. Kapan ayat itu diturunkan? Dalam keadaan apa Tuhan menurunkan ayat tersebut? Bagaimana korelasi pengaplikasian ayat tersebut dalam kehidupan masa kini di daerah kita tinggal?
Pada akhirnya, kewajiban memahami dalil aqliyah membuatku sadar bahwa kitab suci bukanlah kitab desain baju (meminjam istilah Edi Akhiles). Tuhan memang menurunkan perintah menjaga badan dan menutupnya (aurat) untuk kebaikan. Namun, kupikir Tuhan tidak akan semudah itu mengutuk perempuan-perempuan ber-jilboobs yang mungkin belum paham apa itu arti asbabun nuzul. Tuhan tidak pula se-baperan itu melaknat guru wanita jilbaber berseragam Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau praja berjilbab di Institut Pemerintahan dalam Negeri (IPDN) hanya alasannya ialah tidak sanggup mengenakan jilbab (model) syar’i sehari-hari.
Aku masih menggunakan jilbab yang menutup dada. Namun sekarang, saya hingga pada kesimpulan bahwa fungsi jilbab sama ibarat pakaian epilog badan yang lain. Punya kuasa apa saya menyebut jilbab sebagai pakaian takwa? Toh saya percaya, Tuhan menurunkan perintah berjilbab atas dasar cinta, bukan bahaya berembel-embel tiket masuk neraka.
Asmi Nur Aisyah adalah lulusan jurnalistik yang punya ketertarikan pada isu-isu agama dan gender. Sejak lulus Sekolah Menengah Pertama ia yakin bahwa kasih sayang Tuhan pada umat insan tidak selebar daun kelor.
Labels:
hukum islam,
muslimah,
Renugan Islam
Thanks for reading Untuk Apa Pakai Jilbab Kalau P4yud4ramu Ditonjolin?. Please share...!
0 Comment for "Untuk Apa Pakai Jilbab Kalau P4yud4ramu Ditonjolin?"